Sepertinya akhir-akhir ini saya berupaya keras untuk tak membikin diri saya gembira. Saya jarang membiarkan diri saya karam dalam satu permainan. Sepuluh jam Balatro dalam bentang waktu seminggu? Saya menghentikannya demi otak saya. Saya benar-benar terbangun dengan peluh dingin memikirkan sinergi. Tapi saya dapat memainkan RPG berdurasi 35 jam dalam waktu kurang dari dua pekan dan baik-baik saja. “Oh, tak apa-apa! Ceritanya baik dan saya harus segera mengatasinya agar tak ketahuan…”
Saya berdebat dengan diri sendiri perihal apa yang nampak seperti mainan link hacksaw slot cangkir dan bola yang menempel pada novel bersampul tipis. Tapi, sesekali saya membiarkan diri saya bermain Phasmophobia selama 70 jam bersama sahabat-sahabat selama sebagian bulan. “Bersama sahabat-sahabat! Bersosialisasi! Kami mendiskusikan hari kami!”
Saat ini, saya sedang berjuang melawan Diablo IV besutan Blizzard. Saya mencobanya selama setahun dan akibatnya memastikan untuk memainkannya. Orang-orang mengeluhkan kurangnya konten pasca-permainan dikala peluncuran, dan apabila Anda pernah memainkan permainan seperti Diablo, Anda tahu bahwa permainan ini tak akan pernah benar-benar berakhir. Kesibukannya kongkrit, dan saya segera membiarkan diri saya mengalir dikala saya membantai iblis dengan bola api dan sejenisnya. Menit berganti menjadi jam, dan sebelum saya menyadarinya, saya kembali ke hari-hari pasca-sarjana saya memainkan Diablo II sampai matahari terbit…
Telah hampir setahun semenjak saya lulus SMA dan saya duduk di gudang milik sahabat saya yang dulunya daerah tidur… eh… kamar kasur. Ya. Saya menghabiskan sedikit waktu tinggal di rumah punk untuk para kutu buku. Rumah punk lazim penuh dengan kekacauan dan sampah, namun alih-alih Bad Brains dan Big Black yang diputar keras di stereo, yang ada cuma bunyi kutu buku bau yang memainkan Counterstrike atau Halo. Hanya dua orang yang benar-benar membayar tagihan, namun Anda akan memperhatikan orang-orang datang dan pergi sepanjang malam.
Seorang pria memasarkan ganja sesekali agar kliennya datang untuk membeli, dan mungkin bermain Street Fighter sejenak dan menikmati sepotong pizza. Mereka selalu baik terhadap saya, si kutu buku gendut yang tidur di daerah yang pada dasarnya ialah lemari. Saya jarang berbicara dengan siapa pun, namun saya sukses memasak dan membersihkan selama mereka membawa bahan-bahan dan peralatan pembersih. Sebagai gantinya, saya tinggal tanpa membayar sewa.
Sedangkan semacam itu, saya mau membeli barang-barang saya sendiri dan akibatnya pindah, jadi saya mendapatkan pekerjaan di sebuah department store untuk membongkar truk dan menyimpan barang. Suatu malam, saya merasa kepanasan dan terganggu sebab sesi Diablo II yang panjang. Diablo III masih jauh dan saya mau memulihkan motivasi saya sebab tak bermain semenjak sekolah menengah. Shift saya dari pukul 4 petang sampai 1 dini hari, jadi saya pikir secara teknis saya dapat begadang sampai pukul 7, bangun pukul 3, bersiap untuk berprofesi, dan baik-baik saja. Sayangnya bagi saya dan akibatnya rekan kerja saya, saya ialah penggemar berat minuman berenergi merek NOS. Saya masih penggemar beratnya, namun saya jelas tak mengonsumsi 6 dalam semalam seperti yang saya lakukan dikala berusia 18 tahun. Pukul 7 pagi hampir berakhir dan saya masih memiliki kafein dan keputusan yang buruk mengalir di pembuluh darah saya yang berminyak. Pukul 7 pesat berlalu dan saya akan berkata pada diri sendiri.